Jadi Pusat Ibukota Negara, Warga Sungai Merdeka Siap Lepas Lahan Garapan

SAMARINDA – Keputusan Presiden Joko Widodo memindahkan Ibukota Negara ke Kalimantan Timur mendapat sambutan dari berbagai pihak, termasuk warga Sungai Merdeka, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara.

Sebagian warga yang saat ini menempati Taman Hutan Raya Bukit Suharto untuk bertani dan menetap menyatakan siap menyerahkan lahan mereka kepada pemerintah, apabila  benar-benar akan digunakan.

Para warga mengaku saat pertama kali datang, lahan yang mereka gunakan saat ini tidak termasuk lokasi Taman Hutan Raya Bukit Suharto. Namun saat revisi perluasan Taman Hutan Raya Bukit Suharto pada tahun 2011,  lahan yang mereka tempati masuk dalam wilayah Taman Hutan Raya Bukit Suharto. Akibatnya mereka tidak bisa memiliki bukti kepemilikan lahan. Namun mereka hanya mendapatkan surat hak guna lahan yang dikeluarkan kelurahan setempat.

Namun setelah ditetapkannya Samboja sebagai kawasan Ibukota Negara yang baru,  para warga menyambut antusias. Mereka mengaku senang dan berharap segera terealisasi. Bahkan mereka siap harus menyerahkan lahan garapan mereka.

“Saya sangat bersyukur banget. Kalau bisa berpindah ke Kalimantan Timur, karena dilihat potensinya untuk kemajuan wilayah disini juga, saya kira pasti pak Presiden akan tahu yang mana akan bisa jadi lahan pertanian masyarakat. Beliau juga sangat suka bertani pak,” kata warga Sungai Merdeka, Gerson Renbang.

Sementara itu,  Taman Hutan Raya Bukit Suharto selain digunakan masyarakat untuk bertani,  hutan lindung yang memiliki luas areal 67.766 hektare ini juga digunakan jalan poros Samarinda-Balikpapan sejak tahun 1980. Di tempat ini juga ada lahan pertanian lain, seperti tanaman tomat, cabai, pala dan lahan perkebunan kelapa sawit milik warga. Bahkan kini lahan Hutan Lindung Bukit Suharto makin terancam, setelah pemerintah membangun jalan tol yang menghubungkan Kota Balikpapan ke Samarinda.

Ketua RT 25 kilo 41 Sampelapi mengaku bahwa apa yang terjadi saat ini akibat perluasan lahan Tahura hingga 5 kilometer dari titik awal Tahura.

“Ya, sisi positifnya nanti kita pasti berkembang. Karena memang selama ini Samboja ketinggalann betul pak. Daerah tertinggal ini. Hasil buminya Kutai Kartanegara itu banyak, tapi masyarakatnya dibawah rata-rata kehidupanya. Ya, kalau menurut informasi, lahannya tidak diganti. Cuma tanaman saja sama rumah. Kalau lahan kan hutan Tahura pak. Kita tidak bisa berkeras. Mau tidak mau pak, namanya negara minta, ya kita sebagai warga negara yang baik, harus direlakan,” ungkap Sampelapi.

Sementara itu, Lurah Sungai Merdeka Kecamatan Samboja Agus Santosa mengatakan bahwa persoalan lahan di wilayahnya bagai bom waktu yang suatu saat bisa meledak. Sebab, sebagian besar warganya telah lama menghuni kawasan yang saat ini menjadi bagian Taman Hutan Raya akibat perluasan yang dilakukan pemerintah tahun 2004 lalu.

“Disini yang untuk kepemilikan sertifikat sangat minim. Ini yang kadang membuat kita jadi berpikir, bagaimana mengatasi hal itu. Seandainya itu nanti jadi ibukota, kemudian yang dianggap nanti tidak ada pembebasan, kemudian juga nanti yang surat garapan mereka cuma hak garap, ini yang juga masih bagaimana solusinya nanti,” kata dia.

Meski masyarakat  Kelurahan Sungai Merdeka mengaku siap melepaskan lahan mereka, namun pemerintah tetap harus  berhati-hati  mengambil keputusan. Tidak mungkin negara membuat warganya kehilangan mata pencaharian.

Sebelumnya, berdasarkan hasil kajian tim Bappenas telah menetapkan 2 Kabupaten sebagai lokasi dibangunya Ibukota Negara baru yang memakan lahan seluas 180 ribu hektare yang berada di Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kecamatan Petung Kabupaten Penajam Paser Utara. (maman)

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker